Minggu, 24 Juli 2016

SEJARAH KERAJAAN SIAK

KERAJAAN SIAK SRI INDERA PURA

LOKASI :

kerajaan SIAK SRI INDERA PURA berlokasi di  KABUPATEN SIAK, dimana istana sultan berada.
dan bila kita dari pekanbaru kita boleh mencapainya dalam tiga jam perjalanan dengan mobil pribadi.
dan kerajaan siak ini memiliki banyak sungai yang melaluinya, salah satu sungai terbesarnya adalah SUNGAI SIAK, adapun sungai - sungai itu antara lain :
Sungai Mandau, Sungai Gasib, Sungai Apit, Sungai Tengah, Sungai Rawa, Sungai Buantan, Sungai Limau, dan Sungai Bayam.

Sedangkan danau-danau yang tersebar di daerah ini adalah: Danau Ketialau, Danau Air Hitam, Danau Besi, Danau Tembatu Sonsang, Danau Pulau Besar, Danau Zamrud, Danau Pulau Bawah, Danau Pulau Atas dan Tasik Rawa.

GEOGRAFIS
keadaan tanah dan bumi  di kerajaan siak adalah berupa dataran rendah dan sedikit dataran tinggi di sebelah barat.
Bentang alam Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada umumnya struktur tanah terdiri dan tanah podsolik merah kuning dan batuan dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan pertanian dan perkebunan.

SEJARAH dan RAJA RAJA SIAK

RAJA KECIK
pendiri kerajaan siak sri indera pura adalah RAJA KECIL atau RAJA KACIAK atau RAJA KECIK. yang ber asal dari pagaruyung.
beliau juga di kenal dengan gelaran nama : Sultan Abdul Jalil Syah atau Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I. 
ia merupakan saduara dari yang di pertuan agung raja pagaruyung yang bernama : Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Indermasyah, 

siapa SULTAN ABDUL JALIL ini : 
Pada tahun 1716, Sultan Abdul Jalil diutus oleh Sultan Indermasyah untuk mewakili dirinya dalam menyelesaikan kesepakatan dagang dengan pihak VOC, pada awalnya pihak Belanda menolaknya, namun kemudian kembali datang surat dari Yang Dipertuan Pagaruyung, yang menegaskan status dari pada Sultan Abdul Jalil tersebut.[1]
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil putra Pagaruyung, didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis, sekaligus melepaskan Siak dari pengaruh Johor. Berdasarkan Hikayat Siak, Raja Kecil merupakan putra dari Sultan Mahmud, Sultan Johor yang terbunuh. Dari suratnya kepada VOC, Raja Kecil dari Pagaruyung, memberitahukan bahwa ia akan menuntut balas atas peristiwa terbunuhnya Sultan Mahmud. Pada tahun 1717 Raja Kecil berhasil menguasai Kesultanan Johor sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor, dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor, namun pada tahun 1722 karena pengkianatan beberapa bangsawan Johor, ia tersingkir dan kemudian pindah ke Siak dan menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat pemerintahannya tahun 1723.
Sebelumnya dari catatan Belanda, juga mencatat pada tahun 1674, ada datang utusan dari Johor untuk mencari bantuan bagi raja Minangkabau berperang melawan raja Jambi. Kemudian berdasarkan surat dari Raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil dari Pagaruyung, hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[2]
Pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak, membangun pertahanan armada laut di Bintan bahkan pada tahun 1740-1745 menaklukan beberapa kawasan di Kedah. Sultan Abdul Jalil Syah mangkat pada tahun 1746 dan dimakamkan di Buantan kemudian digelari dengan Marhum Buantan. Kemudian kedudukannya digantikan oleh putranya, yang bernama Sultan Mahmud.

Yang Dipertuan Besar Mahmud Syah atau Sultan Mahmud Abdul Jalil Syah dari Siak Sri Inderapura,  Dalam Syair Perang Siak, sepeninggal Raja Kecil, kedudukannya digantikan oleh Raja Mahmud untuk menjadi penguasa Siak selanjutnya.[1] Peralihan kekuasaan ini diperkirakan sekitar tahun 1746, Raja Mahmud kemudian memerintah sampai tahun 1761.


Yang Dipertuan Besar Ismail Syah atau Sultan Ismail Abdul Jalil Syah dari Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari Raja Mahmud, Yang Dipertuan Besar Siak.
Sepeninggal Raja Mahmud, Kesultanan Siak Sri Inderapura diperebutkan oleh Raja Ismail dan Raja Muhammad Ali. Karena dukungan Belanda, suksesi ini dimenangi oleh Raja Muhammad Ali. Kemudian Raja Ismail memilih untuk berkelana di lautan.[1] Pada tahun 1761, Raja Ismail pergi ke Siantan dan disini ia memperoleh dukungan dari Orang Laut. Setelah memiliki kekuatan serta dukungan Orang Laut, ia mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka dan menyerang Kesultanan Mempawah di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1779 Raja Ismail mengambil alih kedudukan Yang Dipertuan Besar Siak dari sepupunya Raja Muhammad Ali.[2] Ia berkuasa hingga tahun 1781 sebelum akhirnya digantikan oleh Sultan Yahya.

Yang Dipertuan Besar Yahya Syah atau Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah dari Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari Raja Ismail, Yang Dipertuan Besar Siak.[1]
Raja Yahya meninggal dunia pada tahun 1791 dan dimakamkan di Tanjung Pati (Che Lijah, Dungun, Terengganu, Malaysia).

Yang Dipertuan Besar Sayyid Ali Syah atau Sultan Sayyid Ali Abdul Jalil Saifuddin dari Siak Sri Inderapura, merupakan keponakan dari Raja Ismail, Yang Dipertuan Besar Siak.[1]
Raja Sayyid Ali merupakan putra dari Sayyid Osman al-Syaikh 'Ali Ba' Alawi, yang menikahi cucu perempuan Raja Kecil.


Yang Dipertuan Besar Sayyid Ibrahim Syah atau Sultan Sayyid Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin dari Siak Sri Inderapura, merupakan putra dari Raja Sayyid Ali, Yang Dipertuan Besar Siak.[1]

Yang Dipertuan Besar Sayyid Ismail Syah atau Mangkubumi Sayyid al-Syarif Jalaluddin 'Ali Ba' Alawi[1] dari Siak Sri Inderapura, merupakan kemenakan dari Raja Sayyid Ibrahim, Yang Dipertuan Besar Siak.[2]

Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim I, atau sultan syarif hashim 
adalah raja di siak setelah yang di pertuan besar sayyid ismail syah, pada masa ini pergolakan antara VOC Belanda dengan pagaruyung tengah memuncak, dan merembet ke kerajaan siak, sehingga masa pemerintahannya sangat singkat, dan ia kemudian di gantikan oleh anaknya sultan syarif kasim II

Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin[1] atau Sultan Syarif Kasim II (lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893 – meninggal di Rumbai, Pekanbaru, Riau, 23 April 1968 pada umur 74 tahun) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau € 69 juta Euro pada tahun 2011)[2] . Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatera Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru.

ARTI NAMA SIAK

Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii, masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani. Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai

SEJARAH

Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada tahun 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[24]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang bersamaan orang-orang Bugis juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27]
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya Sultan Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vassal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29]
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.[29]
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[30] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[31] Di bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.